
Para pengasong paham Sepilis tak lebih dari budak-budak kuffar  yang ikut dalam gerbong imprealisme Barat untuk menaklukkan  negeri-negeri Muslim. Keberadaannya tak hanya mengancam umat Islam, tapi  juga bangsa ini secara keseluruhan.
Oleh: Artawijaya (Editor Pustaka Al-Kautsar Jakarta)
Istilah "Kelompok moderat" versi AS dan sekutu-sekutunya, yang harus  dirangkul dan dijadikan partner dalam memerangi apa yang mereka sebut  "ekstremisme Islam" dan "Radikalisme Islam" adalah mereka yang mempunyai  komitmen kuat untuk memasarkan ide-ide tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (Sepilis). 
Inilah tiga ide besar yang sedang dipasarkan  oleh AS dan sekutunya, dengan bantuan para pengasong di negeri-negeri Muslim yang menjadi kaki tangannya, diantaranya adalah : 
1. Jaringan Islam Liberal  (JIL) yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla,
2. Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang dimotori oleh Siti Musdah Mulia,  
3. Freedom Institute yang dimotori oleh Luthfi Asy-Syaukanie,  
4. the Wahid Institute yang dimotori  oleh Yeni Abdurrahman Wahid,   
5. Setara Institute yang dimotori oleh  Hendardi,
6. International Center for Islam and Pluralism yang dimotori  oleh M. Syafi'i Anwar,
7. Komunitas Salihara yang dimotori oleh Goenawan Mohammad dan Guntur Romli,  
8. LibforAll Foundation yang dimotori oleh C.  Holland Taylor (orang yang seringkali mengajak tokoh-tokoh sekular Indonesia ke Israel), dan masih banyak lagi LSM-LSM komprador yang  bekerja sebagai "babu asing" dan menjalankan aksinya untuk merusak  akidah dan keyakinan umat Islam. Inilah organisasi "tadah hujan" yang  bekerja demi kucuran dollar, merusak dan melakukan subversi terhadap  Islam.
Secara representatif, keberadaan mereka dapat terlihat jelas dalam  organisasi payung bernama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama  dan Berkeyakinan (AKKBB). Aliansi yang terdiri dari beragam keyakinan  dan agama ini, hanyalah kedok untuk mem-back-up kelompok sesat Ahmadiyah  agar tidak dibubarkan oleh pemerintah. Mereka juga menjadikan Pancasila sebagai tameng untuk melindungi penodaan yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap ajaran-ajaran Islam. Pada 1 Juni 2008, kelompok ini menggelar  acara "Apel Siaga Pancasila" di Monumen Nasional yang berujung pada  bentrokan dengan Komando Laskar Islam.
Sebelum apel siaga itu dilakukan kelompok AKKBB telah membuat  pra-kondisi dengan menebar iklan provokatif di berbagai media massa  nasional dengan tagline besar, "Mari Selamatkan Indonesia Kita".  Dalam iklan tersebut tertera 289 nama tokoh yang mendukung gerakan  mereka, diantaranya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Azyumardi Azra,  Syafi'i Ma'arif, Siti Musdah Mulia, Rizal Mallarangeng, Adnan Buyung  Nasution, Dawam Rahardjo, dan lain sebagainya. Sebagian tokoh ini juga  kemudian terlibat dalam permohonan uji materi UU No.1 PNPS/1965 Tentang  Pencegahan Penodaan Agama. Dalam uji materi yang dilakukan di Mahkamah  Konstitusi ini kelompok liberal keok, karena MK menolak gugatan mereka.
Aroma keterlibatan asing dalam gugatan yang diajukan kelompok liberal  terkait UU Pencehan Penodaan Agama itu tercium, tatkala mereka meminta  Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan saksi dari Amerika, W  Cole Durham. Durham adalah pakar hak asasi manusia dari Harvard  University. Upaya mendatangkan saksi ahli dari Amerika mendapat  tentangan keras Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Ketua PBNU saat  itu, KH. Hasyim Muzadi menyatakan bahwa kehadiran saksi dari AS itu  makin membuktikan adanya skenario internasional untuk mengacaukan  kehidupan beragama di tanah air.
KH. Hasyim Muzadi yang juga menjadi saksi ahli yang diajukan oleh  umat Islam dengan tegas menolak pakar HAM yang diajukan oleh kelompok  liberal. "Mahkamah kita adalah Mahkamah Konstitusi nasional bukan mahkamah internasional. Ukurannya tidak sama dengan asing,"tegas Kiai  Hasyim yang juga menjabat sebagai Sekjend Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS) dan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).
Hasyim Muzadi menegaskan, UU No.1 PNPS/1965 adalah upaya  mengantisipasi penodaan agama, agar kehidupan beragama bisa berlangsung  tertib dan harmonis, tanpa adanya pelecehan dan penodaan terhadap  keyakinan tertentu. Hasyim juga menduga gugatan terhadap UU ini  ditunggangi oleh kelompok atheis yang memang sudah lama ingin bangkit  kembali di negeri ini. Dengan tegas Hasyim menyatakan bahwa gugatan tersebut bukan menguntungkan kepentingan umat beragama di Indonesia,  tapi justru akan membuat pertentangan di kalangan masyarakat. "Ini hanya  menguntungkan atheisme melalui neolib dalam memanfaatkan demokrasi yang  over dosis," tegasnya. HAM kata Hasyim, diukur menurut ukuran  konstitusi, bukan menurut pendapat orang asing.
Selain mengajukan permohonan uji materi UU Tentang Pencegahan Penodaan Agama, kelompok liberal dengan dukungan aktivis perempuan dan transgender (homo, lesbi, biseksual) bergerilya menolak Qanun Jinayat yang disahkan oleh Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Daarussalam (NAD)  pada 14 September 2009. UU Qanun Jinayat mengatur hukuman badan terkait  perjudian, khamar, khalwat (berduaan bukan mahram), zina,  liwath  (homoseksual), dan musahaqah (lesbian), dan lain-lain. Mereka bergerilya  ke Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan qanun tersebut, dan  melakukan berbagai aksi demo dan kampanye penolakan. Mereka menggalang  dukungan organisasi HAM internasional (Human Right Watch).
Anehnya, penolakan terhadap Qanun Jinayat justru tidak datang dari  rakyat Aceh sendiri, melainkan datang dari kelompok liberal dan  transgender yang berada di luar Aceh. Istilahnya, Qanunnya berlaku di  Aceh, eh yang menolak para gay, homo, lesbi, biseksual, dan  gerombolan liberal di Surabaya. Dengan dukungan internasional, mereka  melakukan kampanye, "An International Campaign for Sexual and Reproductive Right" (Kampanye Internasional untuk Hak Seksual dan Reproduksi) di kampus  IAIN Sunan Ampel Surabaya. Acara ini diselenggarakan oleh NGO internasional the Coalition for Sexual and Bodily Right in Muslim Societies (CSBR), yang didukung oleh gabungan dari 20 LSM pengusung virus Sepilis,  diantaranya LSM Gaya Nusantara yang merupakan tempat bernaungnya para  gay, homo, dan lesbi.
Seminar dan kampanye tersebut dihadiri oleh Guntur Romli, aktivis  AKKBB yang juga aktif di Jurnal Perempuan dan Komunitas Salihara. Guntur  adalah orang yang memiliki syahwat tinggi untuk membubarkan Front  Pembela Islam (FPI). Syahwat tersebut ia lampiaskan dengan menggalang  segelintir begundal, homo, gay, dan lesbi untuk berteriak-teriak di  Bunderan HI dalam kampanye "Indonesia Tanpa FPI". Selain Guntur Romli,  tokoh Jaringan Islam Liberal yang sekarang mencari nafkah di Partai  Demokrat, Ulil Abshar Abdalla, juga nampak dalam kerumunan kecil  tersebut.
Kampanye kaum liberal dan mereka yang mengalami disorienteasi seksual  tersebut tak lebih dari rasa frustasi mereka karena tak juga laku  memasarkan paham Sepilis di Indonesia. Bahkan, karena tak juga mampu  menjadi pengasong yang sukses memasarkan paham sesat tersebut, beberapa  funding asing mulai mengurangi bahkan menghentikan transfer dollar  kepada kelompok tersebut. Karena itu, tak heran jika Ulil Abshar Abdalla  berpindah ke ketiak Partai Demokrat, partai yang beberapa kadernya  diduga  menjadi mesin ATM pengeruk uang rakyat. Di partai yang sudah  "babak belur" karena kasus korupsi dan kebohongan publik ini, Ulil yang  dulu menjadi pengasong di JIL, kini menjabat sebagai Ketua Pusat  Pengembangan Strategi dan Kebijakan. Entah atas dasar apa, Demokrat  menempatkan dirinya di posisi tersebut. Apakah partai yang dibidani oleh  SBY ini ingin Ulil membuat strategi dan kebijakan untuk memasarkan  liberalisasi di Indonesia?
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar