Rabu, 24 April 2013

Menggunjing orang lain memang "menyenangkan" tapi...

Algoritma "kenapa punya budaya ngomongin orang lain" 
Dulu waktu kecil sering melihat orang dewasa ngomongin orang lain. Objek yang diomongin beragam mulai dari tetangga sampai teman kerja. Topik yang diomongin itu biasanya kejelekan. Orang dewasa yang ngomongin orang lain itu terlihat seperti hakim terbaik di dunia. Mereka mengatakan apa yang harusnya dilakukan jika dia ada di posisi si A misalnya. Waktu ngomongin orang lain seakan jadi makhluk super sempurna yang sangat terampil men-judge orang lain. 

Celakanya waktu itu kebanyakan anak kecil seperti saya selalu ingin tahu tentang yang diomongin orang dewasa. Ketika orang dewasa ngomongin aib orang lain, lalu ada anak kecil innocent yang pengen tahu apa yang sedang diomongin, ya pasti dikacangin . Mungkin karena anak kecil dianggap gak bisa jaga rahasia pergunjingan yang hangat. Anak kecil sangatlah objektif dan cenderung jujur. Kalau sampai koar-koar bisa jadi adu domba. Bisa bikin pusing semisal di depan si C langsung curhat dengan frontal, " si A kemarin sama Si B ngomongin kamu bro". Padahal kalaulah ngomong beneran itu jujur dan objektif.

Makin tua saya tahu apa-apa saja yang dulu mereka omongin. Tentu saja aib orang lain lah yang diomongin. Tapi setelah makin tua dan jadi tahu garis besar pembicaraan mereka, saya malah jadi gak mau tahu lagi. Rasa ingin tahu saya menjadi semakin hilang karena kenyataan sampah tadi. Topik pembicaraan cuma aib orang lain.Saya pikir jika saya tahu kekurangan orang lain tidaklah membuat saya makin berwawasan. Adanya saya malah mengalokasikan memori otak saya pada ingatan aib orang lain yang tak bermanfaat bagi diri saya. Waktu saya terbuang dengan mengingat aib orang lain, sampai-sampai lupa pada urusan diri sendiri. 

Waktu di sekolah ada pelajaran agama yang mengajarkan bahwa menggunjing orang lain itu dosa. Menggunjing itu diibaratkan memakan bangkai saudara sendiri. Doktrin ini sangat bijaksana dan efektif mencegah pergunjingan saat pelajaran agama berlangsung. Namun doktrin ini tak menjamin efektifitas saat siswa bergaul diluar. Ya lingkungan sangatlah berpengaruh pada kebiasaan menggunjing orang lain. Melalui doktrin bijak pelajaran agama saya sadar menggunjing itu dosa dan tidak ada mafaatnya. 

Tapi, bodohnya secara tidak sadar atau mungkin sedikit sadar saya malah ikut-ikutan "belajar" ngomongin kejelekan orang lain juga. Perilaku ini terutama disebabkan orang-orang yang mengusik kehidupan saya waktu sekolah. Step awal  dimulai dari curhat-curhat kecil ke keluarga tentang oknum-oknum menyebalkan di sekolah. Sadar atau tidak kebiasaan ini membuat diri ini menjadi terlatih untuk maju ke step yang lebih busuk, ngomongin kejelekan orang lain, tak peduli orang itu merugilkan diri sendiri atau tidak. Saya menyimpulkan dua step "algoritma" itu, yang mungkin bersifat general, melatih orang untuk mahir menggunjing orang lain.

Suka Menggunjing tapi benci jika yang diomongin adalah orang satu gank.
Meskipun sering menggunjing namun orang punya topik yang dihindari terutama menyangkut sahabat dekat. Saat si A dan si B ngomongin sahabat sendiri di dekat kita, rasanya seperti dua orang itu membakar diri kita. Padahal jika yang diomongin itu orang lain pasti sikap kita biasa saja. Malah mungkin kita ikut-ikutan, ngomporin dan ngasih bumbu-bumbu. Solidaritas persahabatan alasannya. Orang yang ngomongin kejelekan teman kita melihat dari sisi buruk teman kita, sedangkan kita yang lebih kenal dekat mempertimbangkan sisi positif teman kita. Sudut pandang berbeda yang susah untuk disamakan kecuali jika si oknum A dan B itu teman dekat dari teman kita juga.

Jangan Jadi Blangkon
Mau itu fakta yang sangat pasti, menggunjing itu dosa. Mau itu menyenangkan dan membuat kita bersemangat, menggunjing orang lain itu tidak ada manfaatnya. Disisi lain kita juga mengambil hikmah dari menggunjing itu sendiri yaitu "kita tak bisa melihat kekurangan diri kita secara langsung, namun orang lainlah yang bisa melihatnya". Bagaimanapun saya khususnya dan kita umumnya layaknya berusaha untuk tidak menggunjing orang lain. Kalau tidak suka dan tidak setuju pada tingkah laku orang lain lebih baik frontal saja ngomong di depan orangnya biar greget. Jangan jadi orang cupu yang senyum di depan namun menikam dengan kejam dari belakang. Janganlah mengamalkan filosofi blangkon di orang jawa "halus di depan rumit tak beraturan di belakang". Blangkon memang sangat telak menggambarkan budaya sesat pergunjingan di masyarakat. Budaya yang membuat masyarakat sibuk pada kekurangan orang lain namun tidak mambangun dan memperbaiki diri sendiri. Pesan dari saya Jangan jadi blangkon!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar